Dari Multiple Intellegence (MI), Intellegence Quotient (IQ), Sampai dengan Pendidikan Karakter

08/06/2013 08:37
Success requires more than IQ (intelligence quotient), which has tended to be the traditional measure of intelligence, ignoring essential behavioral and character elements (Daniel Goleman)
Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is objectively good human qualities that are good for the individual person and good for the whole society (Thomas Lickona)


Dengan melalui e-mail, beberapa mailister telah mengadakan semacam diskusi hangat tentang multiple intelligence (MI), intelligence quotient (IQ), sampai dengan kaitannya prediksi keberhasilan seseorang dalam kehidupan. Bahkan, sampai juga mendekati konsep pendidikan karakter, yang sekarang ini sedang menjadi primadona kebijakan pendidikan. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk sekedar nimbrung kepada teman-teman mailister itu. Siapa tahu, tulisan ini dapat ikut memberikan pemahaman tentang materi yang banyak ditanyakan itu.

Multiple Intelligences

Multiple intelligence pertama kali diperkenalkan oleh Howard Gardner dalam bukunya bertajuk Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Ketika pertama kali terbit pada tahun 1985, Howard Gardner, dosen Universitas Harvard, menjelaskan dalam bukunya itu tujuh tipe kecerdasan, yang untuk memudahkan disingkat SLIM BIL, yaitu (1) spasial-ruang, (2) linguistik, (3) interpersonal, (4) musik, (5) badaniah-kinestetik, (6) intrapersonal, dan (7) logis-matematis. Perkembangan selanjutnya, tujuh tipe kecerdasan tersebut, oleh karena perkembangan sosial budaya masyarakat, dapat dibedakan menjadi delapan kecerdasan dan kemudian menjadi sembilan kecerdasan, yaitu (8) naturalis, dan (9) eksistensialis.

Pancasila dan Tujuan Negara dalam UUD 1945

Kelahiran istilah kecerdasan ini telah membuat kebanggaan sendiri bagi kita. Mengapa? Karena istilah kecerdasan ini telah lama digunakan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945, para pendiri negara itu telah merumuskan Pancasila dan tujuan negara. Itulah sebabnya, maka Pancasila dan UUD 145 kita kenal mengandung nilai-nilai luhur bangsa. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terdapat rumusan tujuan ketiga dari empat tujuan negara yang telah didirikan itu adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Rumusan itu sama sekali tidak menggunakan istilah “pintar”, atau “pandai”, atau istilah lain, melainkan istilah “cerdas”. Maknanya, kita tidak hanya ingin bangsa kita menjadi bangsa yang pandai, atau pintar, tetapi kita ingin menjadi bangsa yang cerdas, yakni cerdas dalam tujuh atau ke sembilan tipe kecerdasan menurut Howard Gardner tersebut.

Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual

Perkembangan selanjutnya, kecerdasan ganda tersebut dapat dibedakan menjadi empat kecerdasan, yaitu (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan emosional, dan (3) kecerdasan spiritual. Keseluruhan kecerdasan tersebut kemudian dikenal dengan kecerdasan komprehensif, yang tidak hanya mementingkan salah satu dari semua tipe kecerdasan tersebut, tetapi memandang keseluruhan kecerdasan tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kecerdasan komprehensif ini telah dirumuskan menjadi visi dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Selama ini, kecerdasan intelektual telah memiliki alat ukur dengan tes yang sudah baku yang dinamakan intelligence quotient (IQ), yakni perbandingan antara kecerdasan yang dimiliki seseorang dengan kecerdasan menurut umur. Angka hasil perbandingan tersebut menunjukkan tingkat kecerdasan intelektual seseorang, apakah ia termasuk idiot ataukah genius.

Dengan mengikuti konsep IQ untuk kecerdasan intelektual tersebut, maka kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual juga dikembangkan dengan model Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ), sebagaimana yang dikembangkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya bertajuk “Emotional Intelligence” yang terbit pada tahun 1995. Namun, perlu diakui bahwa dibandingkan tes IQ yang sudah lama dikembangkan, sebenarnya tes EQ dan SQ belum sepenuhnya memiliki tes yang baku sebagaimana IQ. Singkat kata, tes EQ dan tes SQ sebenarnya belum ada. Yang telah dikembangkan Daniel Goleman adalah berupa analisis ranah atau domain emotional intelligence (EI) dan spiritual intelligence (SI). Sebagai contoh, Daniel Goleman menyatakan bahwa Emotional Intelligence (EI) memiliti 5 (lima) ranah sebagai berikut:
 

  • Knowing your emotions;
  • Managing your own emotions;
  • Motivating yourself;
  • Recognizing and understanding other people’s emotions;
  • Managing relationships, ie., managing the emotions of others.


Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa EQ untuk Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) dan SQ untuk Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) sebenarnya belum ada, atau belum dikembangkan sebagaimana yang terdapat dalam IQ untuk Kecerdasan Intelektual (Intellectual Intelligence)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dalam Kehidupan

Tidak ada satu faktor pun yang 100% dapat menentukan keberhasilan seseorang dalam kehidupan. Oleh karena itu, IQ seseorang pun tidak akan 100% dapat menentukan keber-hasilan seseorang dalam kehidupan itu. Semua faktor akan dapat mempengaruhi keberha-silan kehidupan seseorang. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasalah yang menjadi satu-satunya faktor yang dapat menentukan keberhasilan seseorang. Faktor yang lain hanyalah dapat mempengaruhi, dan sama sekali tidak menentukan, termasuk IQ, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual seseorang.

Penegasan Daniel Goleman yang menyatakan bahwa 20% keberhasilan manusia dalam kehidupannya ditentukan oleh IQ dan selebihnya (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosional dan spiritualnya lebih merupakan kesimpulan akademis yang memiliki kebenaran ilmiah, tetapi perlu diadakan kajian secara faktual operasional lebih lanjut.

Dalam hal ini, penulis setuju dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa ”success requires more than IQ (intelligence quotient), which has tended to be the traditional measure of intelligence, ignoring essential behavioral and character elements” Maknanya, keberhasilan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh hasil tes IQ, antara lain karena tes IQ cenderung tidak atau kurang memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan tingkah laku dan karakter. Tes IQ memang dimaksudkan memang untuk mengukur kecerdasan intelektual saja. Oleh karena itu, untuk mengukur tipe kecerdasan yang lain, seharusnya kita mengembangkan tes yang lain. Idealnya, semua tipe kecerdasan menurut Howard Gardner memerlukan alat ukur sendiri-sendiri. Inilah tantangan masa depan bagi para ahli pengukuran dalam bidang keahlian masing-masing, termasuk proses pengukuran hasil belajar peserta didik (student achievement)  Jika dikaitkan antara tes IQ dan tes UN, maka keduanya memang berbeda dalam hal tujuannya. Apakah kedua tes itu juga ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam kehidupan? Keduanya dapat menjadi prediktor, yakni untuk memprediksi keberha-silan seseorang dalam kehidupan, yang tentu saja dengan tingkat prediksi yang berbeda pula. Untuk ini, perlu penelitian yang panjang untuk menentukan tes yang mana yang memiliki tingkat prediksi yang paling tinggi.

Pengembangan tes-tes apa pun namanya, sesungguhnya memang merupakan upaya sadar dan terencana untuk memprediksi secara lebih dini kecerdasan manusia dalam pengertian yang luas, bukan hanya kecerdasan intelektual menurut konsep Howard Gardner, dan pada gilirannya dapat digunakan untuk memprediksi pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam mengarungi samudera kehidupannya.

Hal yang sama, juga pembangunan pendidikan, ataupun juga dengan pelaksanaan program pendidikan karakter yang sekarang ini sedang digalakkan kembali memulihkan (recovery) kehidupan bangsa. Baiklah kita kutip pengertian pendidikan dan pendidikan karakter sebagai berikut:

”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, AKHLAK MULIA, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”

Sedang pengertian pendidikan karakter menurut Thomas Lickona juga mempunyai nada dan makna yang kurang lebih sama, yakni sebagai upaya sadar dan terencana, sebagai berikut: ”Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is objectively good human qualities that are good for the individual person and good for the whole society”. Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa “pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk memupuk kebajikan, yaitu yang secara obyektif sebagai manusia yang paripurna, baik untuk kehidupan indvidual maupun untuk kehidupan masyarakat secara keseluruhan”.

Akhir Kata

Diskusi dan telaah panjang lebar tentang multiple intelligence (MI), intelligence quotient (IQ), bahkan tentang pendidikan karakter memang perlu dilakukan sampai dengan tataran pemahaman konsep sebagai proses olah pikir. Namun, itu semua belumlah cukup. Proses itu harus memberikan kesadaran kepada kita bahwa pengembangan konsep itu merupakan satu kebajikan yang dapat mencerahkan hati dan penghayatan kita, untuk selanjutnya terus dikembangkan menjadi program dan kegiatan operasional yang harus kita terapkan dan laksanakan.

Artikel ini ditulis oleh Suparlan dan diunduh dari https://suparlan.com/: